Pak Jenggot
Oleh: I Made Sanggra
Sumber Gagambaran; pixabay.com |
Sebulan sekali ia
pergi ke Gianyar, ke Kantor Pos mengambil uang pensiunan. Bulan lalu, tumben ia
datang terlambat. Biasanya pukul delapan pagi sudah sampai di Kantor Pos, namun
saat itu, pukul sebelas baru sampai di Gianyar. Baru saja duduk, seorang
pensiunan Serdadu NICA keluar dari Kantor Pos. Sesampainya di depan I Jenggot,
itulah nama panggilannya, nama aslinya Wayan Buleng. Dan jika keadaannya
seperti itu, pensiunan Serdadu Nica itu akan menjatuhkan uangnya di depan I
Jenggot. Banyak orang yang membantu memungut dan mengembalikan pada pemiliknya.
"Bagaimana,
apakah sudah pas uangnya Pak?" seseorang bertanya padanya.
"Ah, sudah!
Dapat uang sedikit. Lima ratus ribu. Lumayan untuk beli sradele." Ia
menjawab dan terdengar agak sombong. Tok... tok... tok... bunyi sepatunya saat
melangkah tanpa menoleh.
"Kenapa bengong
Nggot?" Tanya Ketut Kontok sambil mendorong tubuh I Jenggot yang mematung
di sampingnya. I Jenggot terkejut dan berkata:
"Lihat itu Tut!
Orang yang menjatuhkan uang tadi..." Belum usai berbicara, sudah dipotong
Ketut Kontok.
"Siapa yang kamu
bilang?"
"Ah, saya tidak
suka menyebut nama penghianat bangsa!" kata I Jenggot ketus. Pelan-pelan,
Ketut Kontok segera menyela perkataanya.
"Ah, jangan
begitu Nggot! Jangan sebut-sebut hal itu lagi. Sekarang negara kita sudah
merdeka."
"Siapa bilang
begitu? Apa dampaknya bila membicarakan hal itu? Apakah salah jika mengatakan
yang sebenarnya, coba pikirkan!"
"Bicarakan yang
lain saja Nggot!" kata Ketut Kontok.
"Saya Jengkel
sekali Tut. Rasanya kotoran di perut naik ke otak. Orang yang menyiksa kita di
penjara, karena kita berjuang untuk kemerdekaan, dan setelah merdeka,
pensiunannya malah lebih besar dari kita, bagaimana ceritanya itu." I
Jenggot berkata dengan nada marah hingga alisnya berkerut, tatapannya tajam
memandang Ketut Kontok.
Dulu, ketika mereka
masih sama-sama berjuang, jika I Jenggot menunjukkan raut muka seperti itu, tak
ada yang berani mendekat, maupun membantah. Jika ada yang membantah,
kemungkinan ia akan ditembak. Bisa juga dipukul. Ia memang judes dan mudah
tersinggung. Mungkin karena dirinya jadi algojo saat itu.
"Begini Nggot."
"Begini
bagaimana?"
"Begini,
......" I Ketut Kontok mulai berbicara pelan. "Gaji itu tergantung
tinggi rendahnya pangkat. Orang yang menjatuhkan uang tadi itu, sudah jadi
perwira, terang saja gajinya gede. Gaji Pensiunan kita tidak sesuai pangkat.
Tak apa, toh pemerintah masih baik memberi kita gaji, daripada tidak sama
sekali. Dulu sewaktu kita berjuang, tidak ada yang memikirkan gaji. Kita juga
tak menuntut gaji. Kita berjuang karena memang ingin berjuang. Tidak ada yang
meminta, tidak dipaksa. Bukan begitu, Nggot!"
"Iya memang
begitu."
"Kalau begitu,
sekarang apa lagi. Bukannya urusannya sudah selesai?"
"Dalam pikiranku
belum selesai. Sulit menerima sesuatu yang aneh itu," kata I Jenggot
menggerutu.
"Pak Jénggot......!"
Petugas di Kantor Pos memanggilnya. I Jénggot bangun mendekati
tempat duduk petugas itu, menuju ke loket tempat pembagian uang. Setelah
menerima uang, mereka pun pergi. I Jenggot berpisah dengan Ketut Kontok di
jalan menuju ke rumah masing-masing.
Sesampainya di rumah,
I Jenggot duduk merenung. Matanya menerawang jauh, memikirkan apa yang
ditemuinya di Kantor Pos Gianyar. Dalam pikirannya masih terbayang
wajah orang yang menjatuhkan uang di Kantor Pos tadi.
"Ah, manusia
tanpa air mata, telinganya budek, muka badak. Lebih laknat dari binatang."
I Jenggot menggerutu bagaikan beruk,
wadah yang terbuat dari batok kelapa, yang dimasukkan ke dalam air.
"Bli, mana daging
babi guling Gianyar yang kau janjikan?” Istrinya menghampirinya, bertingkah
manja. I Jenggot sedikit malu, ia lupa membelikan istrinya oleh-oleh. Biasanya,
ketika gajian, ia selalu menyempatkan diri singgah ke Balé Banjar Teges membeli
daging babi guling untuk oleh-oleh.
"Bu, jangan
ganggu bli, pikiran bli sedang kalut. Kalau nanti pikiran bli sudah tenang, kita
beli satu ekor. Nanti ibu bisa makan daging babi guling itu sepuasnya!"
kata I Jenggot, sambil berlalu meninggalkan istrinya. Pikirannya masih kalut
dan sedih. Duh, kasihan sekali Pak Jenggot.
Sukawati, 100794
NB: Cerpén puniki
katerjemahang olih I Putu Supartika saking cerpén mabasa Bali kakawian I Madé
Sanggra sané mamurda Pak Jénggot. Cerpén niki kamuat ring cakepan Bir Bali.
Cerpén sané asli prasida kawacén iriki.
No comments